Rabu, 13 Mei 2009

Canine Distemper Virus


Ardilasunu Wicaksono, SKH
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

Distemper pada anjing merupakan penyakit yang sangat mematikan dan menular yang disebabkan oleh paramyxovirus. Virus ini lebih suka menyerang dan mengakibatkan kematian pada hewan muda dibandingkan hewan dewasa. Virus ini merupakan airborne disease yang menyerang organ respirasi, urogenital, gastrointestinal, nervus opticus, dan sistem saraf pusat. Canine Distemper Virus sangat resisten terhadap keadaan dingin dan sebagian besar pada negara empat musim, virus ini menyerang pada musim gugur dan dingin.


Anak anjing berumur 3-6 bulan lebih rentan terkena infeksi dan mengalami gangguan yang lebih serius seperti peradangan pada paru-paru (pneumonia), dan peradangan akut pada otak (encephalitis) jika dibandingkan dengan anjing dewasa. Hampir 15% dari peradangan pada sistem pernapasan pusat diakibatkan oleh canine distemper virus (CDV). Anak anjing yang masih menyusui memiliki kemungkinan yang kecil terkena infeksi CDV karena masih memiliki kekebalan yang didapatkan dari susu kolostrum selama 8-24 jam pertama setelah kelahiran. Anjing dewasa memiliki kemungkinan yang kecil untuk dapat terinfeksi CDV karena kekebalan sudah terbangun, namun infeksi dapat tetap terjadi dan biasanya pada anjing usia 7-8 tahun .

Rute transmisi dari virus ini via aerosol-droplet, kontak langsung, dan dimungkinkan kontak dengan benda-benda yang sudah terkontaminasi. Saat ini masih belum pasti adanya carrier dari virus ini. Virus bereplikasi di dalam feses dan urin dari individu yang terinfeksi dan pernah dibuktikan adanya penularan secara transplacental dari induk ke anak. Rute infeksi yang paling umum adalah melalui traktus respirasi bagian atas, dikarenakan menginhalasi virus infektif. Terkadang infeksi terjadi dari ingesti dari materi yang sudah terinfeksi virus. Jika jalan masuk virus melalui traktus respirasi bagian atas, virus akan masuk dan menginfeksi tonsil dan limfonodus dan disanana terjadi replikasi virus. Virus kemudian memasuki aliran darah dan ditransportasikan ke sel-sel epitel di seluruh tubuh, termasuk epitel pernapasan dan pencernaan.

Gejala klinis dari distemper pada anjing dapat terlihat adanya gangguan pernapasan dan pencernaan antara lain batuk, diare, muntah, discharge pada hidung dan mata, anorexia, dan hiperkeratosis pada planum nasalis dan bantalan kuku (foot pads). Gejala sistem saraf pusat dapat mengikuti setelah adanya gejala-gejala klinis sebelumnya. Pada hewan karnivora liar, gejala klinis yang sangat terlihat adalah gejala yang sama dengan infeksi virus rabies seperti hiperagresivitas. Pada beberapa hewan juga ditemukan adanya konjungtivitis purulenta dan discharge pada hidung dan kelopak mata menyatu dan penuh dengan eksudat yang mengering.

Distemper virus menyebabkan demam pada anjing selama hari ke tiga post infeksi. Demam ini diikuti oleh lymphopenic leukopenia sehingga terjadi kondisi leukositosis. Hal ini diikuti oleh rhinitis, hipremi konjungtiva, mukopurulent ocular-nasal discharge, fotofobia, gejala pernapasan, anorexia, depresi, diare, dan vomitus. Gangguan pernapasan dikarenakan adanya pneumonia ploriferatif merupakan manifestasi klinis dari canine distemper. Dikarenakan adanya imunosupresi dari virus ini, sering terjadi infeksi sekunder dari bakteri Bordetella bronchiseptica. Pustula pada kulit sering ditemukan akibat infeksi sekunder bakterial.


Gangguan saraf terjadi 50% pada penyakit distemper. Gangguan pada saraf terlihat dari hiperagresivitas, disorientasi, myoclonus, hilang kewaspadaan, konvulsi dari kepala dan kaki, berjalan tanpa arah, dan paresis serta paralisis. Dapat ditemukan adanya diare, nafas yang berat, dan penampakan rambut yang kusut. Diare dan muntah menyebabkan dehidrasi dan kehausan. Kelemahan dan kekurusan dapat dihubungkan dengan penyakit distemper namun juga hewan tetap dalam keadaan sehat jika penyerangan virus berlangsung dalam keadaan akut.

Kelainan ocular pada canine distemper meliputi lesio retinochoroidal terutama pada bagian peripheral dan midperipheral nontapetal fundus. Neuritis pada optik dapat menyebabkan gangguan pengelihatan.

Lesio patologi-anatomi dari canine distemper meliputi kongesti paru-paru dan konsolidasi akibat adanya pneumonia. Badan sel bersifat eosinofilik bentuk bulat dan ovoid ditemukan pada sel epitel dari kulit, bronchus, usus, traktus urinaria, duktus empedu, kelenjar saliva, adrenal, sistem saraf pusat, limfonodus, dan limpa. Pada saat nekropsi, biasanya ditemukan limpa yang membengkak.

Nekropsi pada hewan pernah dilakukan dan ditemukan lesio hemoragi parah pada jejunum dan colon disertai konsolidasi paru-paru. Evaluasi secara histopatologi ditemukan reaksi inflamasi ringan sampai kronis pada usus halus dimana terdapat hiperplasia dari epitel bagian basal sebagai proses regenerasi awal. Pada vesica urinaria, epitel peralihan mengalami penebalan dan terdapat badan inklusi eosinofilik.

Secara miroskopis, canine distemper virus ditandai dengan adanya badan inklusi intranuklear dan intrasitoplasmik yang memiliki ukuran yang bervariasi dengan bentuk bulat sampai ovoid. Badan inklusi ini sering ditemukan pada sel epitel kulit, bronchus, gastrointestinal, traktus urinaria, duktus empedu, kelenjar saliva, dan adrenal. Hal ini juga dapat ditemukan pada sistem saraf pusat dan sel reticuloendotelial pada limpa dan limfonodus. Pada paru-paru, virus ini menginduksi sel raksasa multinuklear di dalam alveolus dan epitel bronchus. Bronchial pneumonia purulent dapat terjadi oleh serangan infeksi sekunder setelah terjadi pneumonia interstitialis. Di dalam beberapa kasus didapatkan keadaan nekrosis dan involusi dari jaringan limfatik. Hal ini juga dapat menyebabkan deplesi dari limfosit yang sudah matang pada germinal center dari limpa.

Lesio pada otak terjadi sebagai gangguan yang terjadi pada distemper dengan gejala saraf. Pada kasus ini terdapat encephalitis purulent diffuse dengan badan inklusi yang ditemukan pada sel glia dan histiosit. Tedapat degenerasi neuron, demyelinasi, gliosis, dan perivascular cuffing. Meningitis nonsupuratif juga dapat terjadi. Encephalitis meliputi bagian grey dan white matter. Grey matter terpengaruh jika terdapat gangguan saraf yang terjadi secara akut. Seizure dapat terjadi akibat dari lesio pada grey dan white matter yang biasa diikuti dengan penyakit pada bagian grey matter.

Encephalitis pada bagian white matter biasanya menyebabkan demyelinasi tanpa adanya peradangan. Lesio pada bagian white matter merupakan akibat dari infeksi distemper kronis. Lesio berbentuk multifokus berada pada organ otak, medulla spinalis, dan traktus optikus. Pada cairan cerebrospinalis akan tejadi peningkatan protein dan bisa terdapat atau tidak terdapat limphocytic monocytic pleiocytosis. Pada lima puluh persen dari hewan yang terkena distemper, terdeteksi adanya titer antibodi pada sistem saraf pusat.

Lesio okular pada canine distemper meliputi demyelinasi dan peradangan nonsupuratif pada optic radiation dan traktus optikus. Terdapat infiltrasi sel radang pada ciliary body, degenerasi dari ganglion retina, edema retina, dan fokus-fokus bagian retina yang terlepas.

Gejala saraf disertai demam yang diikuti oleh gangguan respirasi, oculo-nasal discharge, diare, dan atau hiperkeratosis bantalan kaki merupakan ciri-ciri yang mengarah pada canine distemper, walaupun tidak ada gejala patognomonis dari penyakit ini.

Hasil nekropsi dapat menunjukkan gejala-gejala yang didiagnosa sebagai distemper pada anjing. Hal ini dapat dilihat pada lesio paru-paru yang mengalami pneumonia interstitialis dilanjutkan dengan pneumonia alveolaris sebagai akibat dari adanya infeksi sekunder bakteri. Enteritis kattharalis et hemoragis yang parah juga terlihat dan dapat diakibatkan oleh paramyxovirus penyebab distemper. Dengan kondisi demikian, perjalanan virus menginfeksi tubuh sudah berlangsung sistemik sehingga peradangan sampai ke sistem saraf pusat dimana sudah terjadi meningoencephalitis yang sudah parah.

Dengan menurunnya sistem kekebalan, infeksi sekunder dengan mudah dapat terjadi yang menyebabkan peradangan pada bagian luar tubuh yaitu kulit sebagai pertahanan tubuh pertama. Diawali dengan echymosa dan dilanjutkan dengan terbentuknya pustula pada bagian tubuh yang jarang ditumbuhi rambut, dan jika berlangsung kronis menyebabkan hiperkeratosis pada kulit tersebut. Peneguhan diagnosa distemper ini juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara histopatologis.

1 komentar:

Berusaha menjadi yang terbaik mengatakan...

salam kenal dari anak ilkom bos...

http://www.akhmad06.student.ipb.ac.id