Selasa, 19 Mei 2009

Cacing Toxocara dan Ancylostoma pada Anjing

Ardilasunu Wicaksono, SKH
Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor




Cacing ascaris (Toxocara canis) dan cacing kait (Ancylostoma).merupakan parasit intestinal yang sering sitemukan pada anjing. Kedua jenis cacing ini tidak hanya dapat memberikan penyakit pada anjing namun juga dapat menyebabkan cutaneus larva migrans pada manusia, terutama anak-anak. Infeksi Toxocara dan Ancylostoma banyak terjadi pada anak anjing dan dapat juga terjadi pada anjing di berbagai umur.

Anak anjing yang baru lahir biasanya selalu terinfeksi oleh Toxocara canis dikarenakan transmisinya dapat secara transplacental maupun transmamaria.Anak anjing dapat terinfeksi akibat mendapatkan susu dari induk yang sudah terinfeksi.Migrasi melalui jaringan dan stadium awal pada intestin menyebabkan keparahan bahkan dapat mengancam nyawa dari anjing, terutama pada infeksi di beberapa minggu pertama. Masa paten dari infeksi intestinal berkisar selama 2,5 – 3 minggu. Jika tidak ditangani, maka dapat menyebabkan penyebaran kontaminasi lingkungan melalui telur infektif.

Anak anjing dapat terinfeksi Ancylostoma melalui ingesti atau penetrasi dari larva infektif, atau dari infektif larva yang berasal dari susu induk. Ancylostoma menghisap sejumlah besar darah dari induk semang. Pada minggu awal infeksi, anjing terlihat sehat, namun lama kelamaan dapat berkembang menjadi parah bahkan fatal akibat anemia. Masa paten dari infeksi intestinal terjadi pada anak anjing umur kurang lebih dua minggu tergantung dari kondisi lingkungan yang terkontaminasi larva infektif.

Peningkatan jumlah manusia yang memelihara anjing juga dapat meningkatkan jumlah infeksi Toxocara dan Ancylostoma, yang menyebabkan kontaminasi yang banyak terdapat pada tanah oleh telur dan larva infektif. Anak-anak lebih senang bermain dengan anjing menyebabkan tingkat infeksi lebih sering terjadi dibandingkan dengan manusia dewasa.

Manusia dapat terinfeksi Toxocara melalui ingesti telur infektif di lingkungan. Ketika manusia mengingesti telur infektif, telur akan menetas dan melepaskan larva yang dapat bermigrasi ke seluruh tubuh, kondisi ini disebut visceral larva migrans. Gejala terlihat dan diketahui akibat dari kerusakan jaringan dan organ akibat migrasi larva. Organ yang biasa terkena adalah mata, otak, hati dan paru-paru. Toxocara canis telah lama diketahui sebagai penyebab larva migrans pada anak-anak.

Manusia dapat terinfeksi Ancylostoma melalui penetrasi langsung dari larva infektif ke kulit. Ketika larva infektif menembus kulit, maka larva akan bermigrasi dan kondisi ini disebut cutaneus larva migrans. Migrasi larva ini dapat dikenali dari penampakan dari lesio yang progresif, pruritus dan lesio erupsi linear, dimana A. braziliense dapat menyebabkan keparahan yang lebih hebat. A. caninum dapat menembus lebih dalam ke jaringan yang dapat menginduksi visceral larva migrans atau bermigrasi ke usus yang menginduksi enteritis eosinofilik .

Kasus infeksi pada manusia dapat dicegah dengan melakukan higiene personal dengan baik, deworming pada anjing secara rutin, dan menjauhkan kontaminasi lingkungan seperti pada tempat pembuangan feses anjing dari anak-anak. Penting juga untuk membersihkan feses anjing untuk menghilangkan telur infektif sebelum menyebar dan mengontaminasi lingkungan lebih jauh melalui hujan, serangga dan migrasi aktif dari larva. Telur Ancylostoma dapat berkembang menjadi larva infektif di tanah selama lima hari dan telur Toxocara sekitar dua minggu tergantung suhu dan kelembaban. Satu ekor Toxocara betina dapat memproduksi lebih dari 100.000 telur per hari, menyebabkan jutaan telur yang berpotensi untuk menginfeksi anjing. Ketika telur menjadi infektif, maka dapat bertahan infektif di lingkungan selama bertahun-tahun.

Banyak dari pemilik anjing tidak mengetahui bahwa anjing mereka dapat membawa cacing yang dapat menginfeksi manusia. Untuk itu, peran dokter hewan menjadi penting untuk dapat memberikan pelayanan publik dengan pemeriksaan feses secara rutin, melakukan pengobatan anthelmentic pada waktu yang tepat dan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai potensi bahaya zoonosis.

Rabu, 13 Mei 2009

Canine Distemper Virus


Ardilasunu Wicaksono, SKH
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

Distemper pada anjing merupakan penyakit yang sangat mematikan dan menular yang disebabkan oleh paramyxovirus. Virus ini lebih suka menyerang dan mengakibatkan kematian pada hewan muda dibandingkan hewan dewasa. Virus ini merupakan airborne disease yang menyerang organ respirasi, urogenital, gastrointestinal, nervus opticus, dan sistem saraf pusat. Canine Distemper Virus sangat resisten terhadap keadaan dingin dan sebagian besar pada negara empat musim, virus ini menyerang pada musim gugur dan dingin.


Anak anjing berumur 3-6 bulan lebih rentan terkena infeksi dan mengalami gangguan yang lebih serius seperti peradangan pada paru-paru (pneumonia), dan peradangan akut pada otak (encephalitis) jika dibandingkan dengan anjing dewasa. Hampir 15% dari peradangan pada sistem pernapasan pusat diakibatkan oleh canine distemper virus (CDV). Anak anjing yang masih menyusui memiliki kemungkinan yang kecil terkena infeksi CDV karena masih memiliki kekebalan yang didapatkan dari susu kolostrum selama 8-24 jam pertama setelah kelahiran. Anjing dewasa memiliki kemungkinan yang kecil untuk dapat terinfeksi CDV karena kekebalan sudah terbangun, namun infeksi dapat tetap terjadi dan biasanya pada anjing usia 7-8 tahun .

Rute transmisi dari virus ini via aerosol-droplet, kontak langsung, dan dimungkinkan kontak dengan benda-benda yang sudah terkontaminasi. Saat ini masih belum pasti adanya carrier dari virus ini. Virus bereplikasi di dalam feses dan urin dari individu yang terinfeksi dan pernah dibuktikan adanya penularan secara transplacental dari induk ke anak. Rute infeksi yang paling umum adalah melalui traktus respirasi bagian atas, dikarenakan menginhalasi virus infektif. Terkadang infeksi terjadi dari ingesti dari materi yang sudah terinfeksi virus. Jika jalan masuk virus melalui traktus respirasi bagian atas, virus akan masuk dan menginfeksi tonsil dan limfonodus dan disanana terjadi replikasi virus. Virus kemudian memasuki aliran darah dan ditransportasikan ke sel-sel epitel di seluruh tubuh, termasuk epitel pernapasan dan pencernaan.

Gejala klinis dari distemper pada anjing dapat terlihat adanya gangguan pernapasan dan pencernaan antara lain batuk, diare, muntah, discharge pada hidung dan mata, anorexia, dan hiperkeratosis pada planum nasalis dan bantalan kuku (foot pads). Gejala sistem saraf pusat dapat mengikuti setelah adanya gejala-gejala klinis sebelumnya. Pada hewan karnivora liar, gejala klinis yang sangat terlihat adalah gejala yang sama dengan infeksi virus rabies seperti hiperagresivitas. Pada beberapa hewan juga ditemukan adanya konjungtivitis purulenta dan discharge pada hidung dan kelopak mata menyatu dan penuh dengan eksudat yang mengering.

Distemper virus menyebabkan demam pada anjing selama hari ke tiga post infeksi. Demam ini diikuti oleh lymphopenic leukopenia sehingga terjadi kondisi leukositosis. Hal ini diikuti oleh rhinitis, hipremi konjungtiva, mukopurulent ocular-nasal discharge, fotofobia, gejala pernapasan, anorexia, depresi, diare, dan vomitus. Gangguan pernapasan dikarenakan adanya pneumonia ploriferatif merupakan manifestasi klinis dari canine distemper. Dikarenakan adanya imunosupresi dari virus ini, sering terjadi infeksi sekunder dari bakteri Bordetella bronchiseptica. Pustula pada kulit sering ditemukan akibat infeksi sekunder bakterial.


Gangguan saraf terjadi 50% pada penyakit distemper. Gangguan pada saraf terlihat dari hiperagresivitas, disorientasi, myoclonus, hilang kewaspadaan, konvulsi dari kepala dan kaki, berjalan tanpa arah, dan paresis serta paralisis. Dapat ditemukan adanya diare, nafas yang berat, dan penampakan rambut yang kusut. Diare dan muntah menyebabkan dehidrasi dan kehausan. Kelemahan dan kekurusan dapat dihubungkan dengan penyakit distemper namun juga hewan tetap dalam keadaan sehat jika penyerangan virus berlangsung dalam keadaan akut.

Kelainan ocular pada canine distemper meliputi lesio retinochoroidal terutama pada bagian peripheral dan midperipheral nontapetal fundus. Neuritis pada optik dapat menyebabkan gangguan pengelihatan.

Lesio patologi-anatomi dari canine distemper meliputi kongesti paru-paru dan konsolidasi akibat adanya pneumonia. Badan sel bersifat eosinofilik bentuk bulat dan ovoid ditemukan pada sel epitel dari kulit, bronchus, usus, traktus urinaria, duktus empedu, kelenjar saliva, adrenal, sistem saraf pusat, limfonodus, dan limpa. Pada saat nekropsi, biasanya ditemukan limpa yang membengkak.

Nekropsi pada hewan pernah dilakukan dan ditemukan lesio hemoragi parah pada jejunum dan colon disertai konsolidasi paru-paru. Evaluasi secara histopatologi ditemukan reaksi inflamasi ringan sampai kronis pada usus halus dimana terdapat hiperplasia dari epitel bagian basal sebagai proses regenerasi awal. Pada vesica urinaria, epitel peralihan mengalami penebalan dan terdapat badan inklusi eosinofilik.

Secara miroskopis, canine distemper virus ditandai dengan adanya badan inklusi intranuklear dan intrasitoplasmik yang memiliki ukuran yang bervariasi dengan bentuk bulat sampai ovoid. Badan inklusi ini sering ditemukan pada sel epitel kulit, bronchus, gastrointestinal, traktus urinaria, duktus empedu, kelenjar saliva, dan adrenal. Hal ini juga dapat ditemukan pada sistem saraf pusat dan sel reticuloendotelial pada limpa dan limfonodus. Pada paru-paru, virus ini menginduksi sel raksasa multinuklear di dalam alveolus dan epitel bronchus. Bronchial pneumonia purulent dapat terjadi oleh serangan infeksi sekunder setelah terjadi pneumonia interstitialis. Di dalam beberapa kasus didapatkan keadaan nekrosis dan involusi dari jaringan limfatik. Hal ini juga dapat menyebabkan deplesi dari limfosit yang sudah matang pada germinal center dari limpa.

Lesio pada otak terjadi sebagai gangguan yang terjadi pada distemper dengan gejala saraf. Pada kasus ini terdapat encephalitis purulent diffuse dengan badan inklusi yang ditemukan pada sel glia dan histiosit. Tedapat degenerasi neuron, demyelinasi, gliosis, dan perivascular cuffing. Meningitis nonsupuratif juga dapat terjadi. Encephalitis meliputi bagian grey dan white matter. Grey matter terpengaruh jika terdapat gangguan saraf yang terjadi secara akut. Seizure dapat terjadi akibat dari lesio pada grey dan white matter yang biasa diikuti dengan penyakit pada bagian grey matter.

Encephalitis pada bagian white matter biasanya menyebabkan demyelinasi tanpa adanya peradangan. Lesio pada bagian white matter merupakan akibat dari infeksi distemper kronis. Lesio berbentuk multifokus berada pada organ otak, medulla spinalis, dan traktus optikus. Pada cairan cerebrospinalis akan tejadi peningkatan protein dan bisa terdapat atau tidak terdapat limphocytic monocytic pleiocytosis. Pada lima puluh persen dari hewan yang terkena distemper, terdeteksi adanya titer antibodi pada sistem saraf pusat.

Lesio okular pada canine distemper meliputi demyelinasi dan peradangan nonsupuratif pada optic radiation dan traktus optikus. Terdapat infiltrasi sel radang pada ciliary body, degenerasi dari ganglion retina, edema retina, dan fokus-fokus bagian retina yang terlepas.

Gejala saraf disertai demam yang diikuti oleh gangguan respirasi, oculo-nasal discharge, diare, dan atau hiperkeratosis bantalan kaki merupakan ciri-ciri yang mengarah pada canine distemper, walaupun tidak ada gejala patognomonis dari penyakit ini.

Hasil nekropsi dapat menunjukkan gejala-gejala yang didiagnosa sebagai distemper pada anjing. Hal ini dapat dilihat pada lesio paru-paru yang mengalami pneumonia interstitialis dilanjutkan dengan pneumonia alveolaris sebagai akibat dari adanya infeksi sekunder bakteri. Enteritis kattharalis et hemoragis yang parah juga terlihat dan dapat diakibatkan oleh paramyxovirus penyebab distemper. Dengan kondisi demikian, perjalanan virus menginfeksi tubuh sudah berlangsung sistemik sehingga peradangan sampai ke sistem saraf pusat dimana sudah terjadi meningoencephalitis yang sudah parah.

Dengan menurunnya sistem kekebalan, infeksi sekunder dengan mudah dapat terjadi yang menyebabkan peradangan pada bagian luar tubuh yaitu kulit sebagai pertahanan tubuh pertama. Diawali dengan echymosa dan dilanjutkan dengan terbentuknya pustula pada bagian tubuh yang jarang ditumbuhi rambut, dan jika berlangsung kronis menyebabkan hiperkeratosis pada kulit tersebut. Peneguhan diagnosa distemper ini juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara histopatologis.

Kamis, 05 Maret 2009

Parvovirus Anjing dan Kucing

Infeksi Parvovirus mengakibatkan enteritis akut dan leukopenia pada anjing dan kucing. Infeksi pada kucing dinamakan Feline Panleukopenia dan penyakit ini diikuti oleh gejala yang sama dengan infeksi Canine Parvovirus Type 2 (CPV-2) pada anjing. Virus bereplikasi dalam jumlah yang banyak pada feces hewan yang terinfeksi dan dapat bertahan di lingkungan selama berbulan-bulan. Jalur infeksi melalui fecal-oral. Parvovirus bereplikasi di limfonodus oropharyngeal, messenterica dan thymus. Virus ini menjadi sistemik dan terlokalisasi pada sel yang membelah cepat antara lain sel progenitor sumsum tulang, sel limfoid dan sel kripta usus. Kerusakan yang cepat pada sel kripta usus menyebabkan diare parah disertai leukopenia yang dikarenakan kerusakan pada sel progenitor dan sumsum tulang.


Kematian dapat terjadi akibat dehidrasi, endotoxic shock atau sepsis dikarenakan kerusakan barrier mukosa dan supresi limfoid sehingga agen bakterial juga dapat menyerang sebagai infeksi sekunder. Kondisi anjing dapat pulih jika keadaan dehidrasi dan sepsis dapat dikendalikan. Parvovirus yang menyerang puppies yang masih di dalam uterus dapat mengakibatkan myocarditis. Keparahan dapat bertambah jika disertai dengan infeksi dari intestinal parasit, coronavirus, ditemper virus, Giardia, Salmonella spp, atau Campylobacter spp.

Patofisiologi. Parvovirus terlokasi pada sel yang membelah cepat antara lain sel kripta usus dan sel progenitor sumsum tulang. Secara normal, sel kripta usus membelah untuk mengganti sel yang akan mengelupaskan ujung dari vili. Kerusakan dari kripta menyebabkan hilangnya lapisan sel epitel dan villous atrofi. Kerusakan ini akan menyebabkan ketidakmampuan untuk mengabsorbsi nutrisi dan air pada lumen usus sehingga terjadi malabsorbsi dan diare eksudatif. Septicaemia dapat terjadi sebagai akibat dari hilangnya barrier mukosa dan penurunan fungsi imun.

Signalement. Dapat menginfeksi anjing dan kucing juga mink dan racoon. Kejadian penyakit banyak terjadi pada anjing berumur enam minggu sampai enam bulan, terlebih untuk anjing yang tidak divaksinasi. Puppies dan kittens di bawah umur enam minggu masih diproteksi oleh maternal antibody.

Gejala klinis. Diare berdarah, anorexia, depresi, demam, dehidrasi, sepsis (DIC, shock, kematian)

Patologi anatomi
Canine parvovirus: Enteritis hemoragika diffus atau segmental (pola striae). Area usus hipremis, kongesti, dan penuh darah dan hemoragi pada mukosa.
Feline panleukopenia: Usus halus dilatasi, penuh cairan, dan lembek. Terdapat hemoragi dan eksudat fibrinus pada usus halus. Sumsum tulang kuning keabuan dan semi-liquid.

Histopatologi
  • Sel kripta usus necrosis, epitel villi menghilang. Sel yang dapat bertahan akan menjadi bentukan squamosa atau cuboid.
  • Basofilik badan inklusi intranuclear dapat terlihat pada sel kripta epitel 5-7 hari post infeksi
  • CPV-2 dan feline panleukopenia memperlihatkan hasil histopatologi yang sama. CPV-2 memperlihatkan adanya necrosis koagulatif pada Peyer's patches.